Monday, March 15, 2010

GOSIP SOEKARNO DIBUNUH SOEHARTO

MENJELANG peristiwa G30S, isu sakitnya Presiden Sukarno menjadi salah satu pemicu tindakan yang diambil oleh beberapa kelompok yang bertikai di bidang politik. Jika Presiden Sukarno meninggal siapa penggantinya? Sukarno pernah mengalami gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina. Pada bulan Juli 1965 muncul rumor tentang sakitnya Sukarno. Tanggal 4 Agustus ia muntah-muntah dan membatalkan jadwal kerja hari itu. Desas-desus ini menyebar luas. Jenderal A Yani segera berkunjung dan menjumpainya dalam keadaan "baik-baik saja".




Di dalam memoarnya yang baru diterbitkan tahun 2000, Subandrio mengatakan bahwa dokter yang memeriksa Sukarno adalah dokter keturunan Cina dari Kebayoran Baru bukan dokter dari RRC. Usia yang makin tua menyebabkan mantan Waperdam dan Menlu ini sulit mengingat suatu peristiwa secara persis. Namun sebetulnya apa yang disampaikannya barangkali juga ada benarnya. Karena dalam persidangan Mahmillub tahun 1966, Subandrio mengakui tentang keberadaan dokter dari RRC tersebut. Ini juga diperkuat oleh keterangan saksi Dr Mahar Mardjono. Namun Presiden Sukarno juga memiliki dokter pribadi, salah satunya adalah Dr Tan. Mungkin dia yang dimaksud oleh Subandrio.



Pada tanggal 4 Agustus 1965, Mahar Mardjono yang sedang praktik di RS St Carolus dijemput oleh Mayor Dr Darjono (Cakrabirawa) ke Istana Merdeka. Presiden Sukarno muntah-muntah, pusing dan tidak bisa berdiri karena sempoyongan. Mahar melihat ada dua dokter RRC di istana Merdeka. Tanggal 8 Agustus 1965, saksi (Mahar) melihat DN Aidit di Istana Merdeka dan masuk ke ruangan tempat Bung Karno diperiksa. Saat itu saksi sedang memeriksa kesehatan Presiden dengan dua neurolog dari RRC. Aidit bertanya bagaimana kesehatan BK. Dijawab Mahar "baik".



Menurut Subandrio dalam persidangan, penyakit Presiden sebetulnya tidak serius, tapi masalahnya Bung Karno tidak mau dioperasi. Oleh sebab itu para dokter dari RRC itu melakukan pengobatan dengan ramuan tradisional untuk mengobati/menghancurkan batu ginjal. Para dokter itu memang datang secara rutin ke Jakarta, dua kali dalam setahun.



Setelah Soeharto berkuasa, perlakuan yang diberikannya terhadap Sukarno sekilas kelihatan halus tetapi sebenarnya sangat menyakitkan. Hal ini terlihat penuturan Oei Hong Kian yang pernah menjadi dokter gigi Bung Karno. Awal tahun 1967, dr Tan, dokter pribadi Sukarno meminta Oei datang ke Istana karena sang Presiden sakit gigi. Ternyata peralatan gigi yang ada di Istana Negara sudah ketinggalan zaman (berasal dari gudang NICA, Belanda), memakai bor gigi yang tidak dilengkapi air pendingin.



Oei menyarankan agar perawatan gigi itu dilakukan di rumah sekaligus tempat praktiknya di Jalan Serang karena alat-alatnya lengkap dan modern. Namun hal itu tidak diizinkan oleh pihak keamanan. Terpaksa alat-alat yang ada pada tempat praktik Drg Oei dibawa ke Istana lalu dipasang. Setelah selesai dibawa kembali ke rumah dan dipasang pula di sana. Betapa repotnya. Ternyata BK memerlukan perawatan yang intensif, sehingga Oei terpaksa bolak-balik ke Istana. Setiap kali pengobatan Sukarno menahan Oei untuk bercakap-cakap. Sang Presiden itu sangat kesepian. Tidak ada lagi pembantu dan temannya yang berani datang ke Istana kecuali segelintir orang seperti Leimena dan pengusaha Dasaat.



Bulan Maret 1967, Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden. Sukarno harus angkat kaki dari Istana Merdeka dan pindah ke Bogor. Sebetulnya sejak lama ia sudah diperlakukan sebagai tahanan rumah. Permulaan September 1967, Sukarno sakit gigi. Karena di Bogor tidak ada alat- alat perawatan, ia harus datang ke dokter gigi. Namun itu dilakukan dengan pengamanan yang ekstra ketat. Pukul 9 pagi, Sukarno datang, sebelumnya mobil Drg Oei sudah dikeluarkan dari garasi. Mobil Sukarno masuk garasi dan pintu garasi ditutup. Lalu Sukarno yang masih berstatus Presiden masuk ke rumah dokter gigi melalui garasi. Ini persis seperti orang memasuki kamar motel di Jakarta.



Enam orang prajurit bersenjata lengkap masuk rumah. Bahkan salah satu di antaranya memaksa untuk masuk ke ruang praktik. Drg Oei dapat meyakinkan bahwa ia harus menjaga rahasia penyakit pasiennya sehingga tentara itu akhirnya menjaga di depan pintu. Sukarno beberapa kali datang ke rumah ini bahkan belakangan ia juga meminta kepada Drg Oei untuk menjadikan rumah itu tempat Bung Karno bertemu dengan putra- putrinya walaupun hanya sesaat pada waktu gigi sang ayah dirawat.



Drg Oei tidak menyebutkan siapa saja di antara anak Sukarno yang berkunjung ke sana. Bulan Maret 1968, Drg Oei pindah menetap di negeri Belanda. Sebelumnya berangkat ia sudah siap untuk memberi cor emas pada gigi Sukarno, namun urung terlaksana karena pengawasan terhadap Sukarno semakin diperketat. Dalam perawatan itu Drg Oei membantu dengan ikhlas, ia sekali tidak dibayar oleh Sukarno (yang memang tidak punya uang lagi) dan juga tidak oleh pemerintah.



Sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam "karantina politik" dan tinggal di pavilyun Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke peristirahatan "Hing Puri Bima Sakti" di Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat sedemikian rupa agar semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan dalam peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak mau mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.



Dipindahkan



Rachmawati menemui Soeharto di Cendana meminta agar Bung Karno dipindahkan ke Jakarta. Awal tahun 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala). Sementara itu Presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib. Setelah sakit Sukarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan interogasi.



Sebelum Prof Mahar Mardjono meninggal, ia sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter berpangkat tinggi. Dr Kartono Mohammad sedang menulis kasus kesehatan Bung Karno dengan mewawancarai antara lain perawat yang sehari-hari menunggui Bung Karno di Wisma Yaso serta Prof Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter Cina yang merawat Bung Karno).



Kepada Dr Kartono Mohammad saya tanyakan lewat email:



1) Apakah Anda mendukung tesis "BK dibunuh secara perlahan-perlahan oleh HMS ".



2) Pak Mahar mengatakan bahwa resep yang dia berikan sengaja disimpan di laci oleh seorang dokter militer berpangkat tinggi. Apakah dapat disebutkan inisial nama dokter tersebut? Kalau sang dokter masih hidup tentu dapat diperiksa siapa yang memerintahkannya. Kalau tidak salah, komandan yang menahan BK itu adalah Brigjen (CPM) Nicklany, apakah dia memerintahkan pelarangan pemberian resep obat kepada BK. Apakah Pak Mahar juga menceritakan indikasi kesehatan lainnya?



3) Di dalam buku Saelan dilampirkan daftar obat yang biasa digunakan oleh BK. Bagaimana komentar Anda tentang obat-obat tersebut, apakah itu untuk mengobat penyakitnya atau lebih banyak berisi semacam suplemen?



4) Sebelum 1965 BK (dari buku Saelan) dioperasi di Wina, satu ginjalnya diangkat dan yang satu lagi hanya berfungsi 25%. Apakah saat terakhir beliau (BK) sudah gagal ginjal dan tidak diobati sama sekali karena foto terakhir memperlihatkan pipinya yang sangat bengkak?



5) Bagaimana pula komentar Anda tentang pernyataan Dewi Sukarno bahwa sebelum meninggal BK ngorok selama lebih kurang 10 jam, yang konon katanya itu indikasi orang yang diberi obat tidur atau diinjeksi. Benarkah demikian?



Jawaban dari Dr Kartono Mohammad: "Saya juga cenderung menduga bahwa Bung Karno "dibiarkan meninggal" tanpa perawatan medis yang seharusnya (Bandingkan dengan perawatan Soeharto saat ini)".



Tanggal 21 Juli 1970 tokoh proklamator itu wafat. Upacara pemakaman dilakukan secara kenegaraan. Tetapi Soeharto masih mengatur lokasi kuburan sang mantan Presiden. Maka dicari alasan bahwa Sukarno semasa hidupnya sangat mencintai ibunya, maka selayaknya ia disemayamkan di samping makam ibunya di Blitar. Padahal dalam surat wasiatnya beliau ingin dimakamkan di bumi parahiyangan (di Batu Tulis atau di kebun raya Bogor). Terdapat protes dari istri-istri dan putra-putri Sukarno, tetapi hal ini tidak diacuhkan oleh Soeharto. Jadi sampai soal liang kubur Presiden Sukarno masih diatur oleh Jenderal Soeharto.



Soeharto tidak membawa Sukarno ke pengadilan dengan strategi ganda. Pertama, Soeharto menjalankan muslihat "ngluruk tanpa bala", berperang tanpa tentara. Ia berhasil menyingkirkan lawan politik terbesarnya tanpa membuang banyak tenaga. Rakyat dibiarkan menghujat dan menuntut Sukarno ke pengadilan. Sebab itu pemeriksaan oleh Kopkamtib terus dilaksanakan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat tadi. Tetapi pemeriksaan itu lebih bersifat teror mental yang akan melelahkan Bung Karno yang sudah sakit-sakitan. Kalau diadili belum tentu terbukti kesalahan Sukarno, tetapi dengan tanpa pengadilan, rakyat sudah termakan opini bahwa Presiden RI itu terlibat dalam percobaan kudeta G30S.



Kedua, Soeharto dapat nama baik karena ia mengamalkan dan mensosialisasikan mikul dhuwur mendhem jero. Maksudnya orang tua harus dihormati, tentunya dia berharap agar hal serupa diperlakukan masyarakat terhadap dia nanti. Pada akhir pemerintahan Sukarno memang banyak orang yang mati karena kesulitan ekonomi, tetapi tidak sebanyak rakyat yang menderita kekerasan oleh militer terutama selama 1965-1998. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang telah jadi korban semasa Soeharto memerintah.Dimulai dari pembantaian terhadap PKI, penahanan tanpa proses pengadilan di Pulau Buru, pembunuhan misterius (petrus), kasus Aceh, Irian Jaya , Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok,) dan lain-lain.

No comments: